me: "Anda sudah harus membiasakan diri untuk mengurangi konsumsi daging, gorengan makanan bersantan".
Cust: "Hah, berarti mulai sekarang makan rebus-rebusan saja ya?" wajahnya melotot ke arah saya dengan setengah bingung, mungkin tidak percaya, tidak terkatakan harus meninggalkan daging, gorengan, makanan bersantan dan teman-temannya.
"di cap" sering memvonis "pasien", customer yang konsul tentang makanan yang harus dikonsumsi. Bukan memvonis, tetapi detail kata-kata saran sebenarnya sangat jelas bila didengarkan dengan "baik" (fokus dan serius mendengarkan maksudnya). Tetapi apa mau dikata, pemahaman yang seperti ini sangat susah untuk diartikan dengan benar, arti kata "mengurangi" disamakan dengan "tidak sama sekali" atau "kiamat" atau "akhir dari segalanya" karena tidak akan bertemu dan memakan makanan kesukaan itu lagi. Bukan kesana arah pemahaman yang mau dituju. Jujur saya melihat hal itu, bukan dari keinginan ingin untuk "merubah" atau "beralih" hanya sejenak "mengadopsi" pola makan yang "sedikit" sehat (sedikit demi sedikit lama kelamaan menjadi bukit) tetapi "ketidak relaan" untuk sejenak membuka wacana akan pola makan yang harusnya ditelaah terlebih dulu. Bahasanya "teliti sebelum membeli" berarti sebelum benar-benar "mengadopsi" pola makan ada baiknya "teliti" mendengarkannya.
Hidup sehat (bukan, maksudnya memulai untuk memakai pola hidup sehat adalah proses) bukan sebuah mata pelajaran tetapi ilmu yang isinya adalah prinsip dalam menerima sesuatu untuk "disetujui" atau bahkan untuk dilaksanakan. Betul?
Mata pelajaran atau mata kuliah berarti suka tidak suka harus diikuti beda dengan prinsip, ketika kita setuju akan sesuatu maka tidaklah sulit bagi kita untuk mengikuti yang kita setujui.
Tidak memakan daging, makanan yang diolah dengan digoreng, makanan yang mengandung santan tidak sama dengan mengurangi mengkonsumsinya. Terlalu kaku untuk benar-benar serius melakukannya, hanya dapat bertahan dalam harian dijamin kembali ke pola yang lama dengan segera. Kecuali, karena memang penyakit sudah terdeteksi dan gejalanya maka "makanan" itu harus benar-benar dihindari. Saya yakin, sekarang semua orang sangat kritis dengan kesehatannya, sedikit saja mendengar kata kolesterol, asam urat, trigliserid jantung berdegup kencang. Ketakutan..wajar, saya juga merasakannya.
Wuah, berarti Ida sudah tidak mengkonsumsi daging, makanan yang digoreng atau bersantan ya? jangan salah, mungkin beberapa waktu yang lalu, inilah yang membuat saya sangat sulit untuk memulai "makan yang sedikit baik dari biasanya". Apa yang kurang, ternyata di pemahaman saya sendiri tentang makanan itu.
Menurut pakar gizi dan kesehatan, komposisi makan sehari-hari kita seharusnya adalah 80% sayur dan buah-buahan (makanan beralkali tinggi) serta 20% nasi, daging, ikan, roti dan lain-lain (makanan berasid tinggi). Tetapi yang biasa kita makan justru sebaliknya yaitu : 80% adalah nasi, daging, ikan, roti dan 20% adalah sayur dan buah-buahan. Komposisi yang salah ini, selama bertahun-tahun terjadi akumulasi, menyebabkan darah kita menjadi semakin asid dan semakin kental. Darah yang kental menyebabkan kerja jantung menjadi semakin berat. Aliran darah menjadi lambat, menyebabkan lebih banyak endapan terjadi dalam pembuluh darah. Akibatnya timbul penyakit tekanan darah tinggi dan penyakit jantung.
Misalkan, hari minggu lalu saya tidak berada di rumah. Seharian di luar dan otomatis, makanan keluarga yang disukai kita biasanya fastfood (mcd-hogbent), dalam acara bersama keluarga sering "bertarung" dengan makan apa, bukan dengan tidak makan sama sekali, saya ikut saja memakan makanan yang sama dengan keluarga..tetapi: saya akan meningat porsi yang mau saya konsumsi. Belajar memahami fungsi makanan bagi tubuh bukan karena "banyaknya" (harus banyak berarti baik untuk tubuh) tetapi dengan porsi seperti ini apakah cukup untuk menolong tubuh saya bekerja dengan baik atau tidak. Nah, perjuangan ini jujur bukan sangat mudah, sulit itulah yang pertama kali saya temukan ketika berusaha memulainya. Seringkali kegagalan menerapkannya membuat saya hampir menyerah tetapi berkali-kali gagal akhirnya membuat saya lebih kuat "melawan".
Seberapa sering gagal: dalam sehari mungkin bisa dua kali, setelahnya saya akan makin terbiasa. Masalahnya berkisar antara: tidak meningat komitmen selagi makan, terlalu "kaku" hingga akhirnya kondisinya kumulatif dan ingin menghabiskan makanan dalam jumlah berlebihan.
Terlalu sering "menghukum" diri karena "melanggar" pola makan yang ditetapkan dapat membuat kita makin sering terjatuh. Membuat kita tenggelam dalam perasaan bersalah hingga akhirnya makin jatuh. Makanlah makanan apa saja yang ingin dimakan, tetapi bukan berarti lepas kontrol, Sudah tahu jenis makanan tertentu kurang baik bagi kesehatan tetap dikonsumsi bahkan berlebihan.
Sering mendengar kata-kata ini "wah, daripada ngga bisa nikmatin hidup, gue ngga mau batasin makan apapun". Setelah yang bersangkutan sakit, bayar saja dengan harga mahal boro-boro untuk mencicipi makanan saja akan "haram".